Pertanyaan: Apa pandangan Islam
terhadap inseminasi buatan?
Prof. Yusuf Qhardhawi menjawab:
Islam
memelihara keturunan dengan mengharamkan zina dan mengharamkan al-tabanni
(menjadikan anak angkat menjadi anak sendiri). Dengan begitu, keluarga akan
jernih dari unsure-unsur asing. Sesungguhnya haram hukumnya apa yang disebut
“inseminasi buatan”, jika inseminasi (pembuahan) itu tidak dengan nutfah
(sperma) suami. Bahkan dalam kasus ini seperti dikatakan oleh Prof. Syaltut
kejahatan dan dosa besar. Ia serupa dengan zina dalam satu bingkai, satu inti,
dan satu hasil. Inseminasi buatan adalah meletakkan sperma laki-laki asing
secara sengaja kepada ovum perempuan yang tidak ada di antara laki-laki dan
perempuan itu suatu ikatan pernikahan secara syar’I yang dilindungi
undang-undang dan agama. Andai tidak ada pembatasan dalam bentuk dan jenis
kejahatan, pastilah inseminasi dalam kondisi ini hukumnya sama dengan hukum
zina seperti digariskan syari’at Ilahi yang turun bersama kitab-kitab suci
(samawi).
Jika
pembuahan benih manusia dengan bibit selain dari suaminya demikian hukum dan
posisinya dalam Islam, maka pastilah tindakan ini lebih jahat dan lebih buruk
daripada al-tabbanni … karena anak hasil inseminasi tersebut menggabungkan
keburukan al-tabbanni yakni memasukkan unsur asing kedalam silsilah nasab
(keturunan), dengan keburukan lain yakni serupa dengan perbuatan zina yang
melecengkan tujuan syari’ah dan undang-undang untuk meninggikan keutamaan dan
kehormatan manusia. Ia menjadikan kedudukan manusia sama dengan hewan yang
tidak mempunyai kesadaran individu dan ikatan masyarakat yang mulia.
Prof. Mahmud Syaltut menjawab:
Sudah
diketahui bahwa terciptanya seorang anak adalah melalui cairan sperma yang
keluar dari laki-laki kemudian sampai kepada rahim yang siap menerima: Dia
diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan
tulang dada. (QS Al-Thariq:6-7). “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah
dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS
Al-Insan:2)
Anak
tercipta dari cairan (mani/sperma) tersebut ketika sampai ke rahim yang siap
untuk dibuahi. Ini bisa terjadi meski cara sampainya tidak berupa hubungan
badan seperti biasa. Hal seperti itu sudah diketahui oleh siapa saja termasuk
fuqaha kita. Pendapat mereka antara lain mengatakan bahwa kehamilan dapat
terjadi dengan memasukkan air (mani) kedalam tempat itu (rahim) tanpa hubungan
badan. Mereka sudah mengetahui hal ini, dan menjadikan peristiwa ini sebagai
penyebab wajibnya iddah, yaitu beberapa waktu dimana suami harus menjauhi
istrinya sehingga diketahui bebasnya rahim istrinya dari kehamilan. Ini dalam
kondisi masuknya air (mani) laki-laki yang bukan suaminya. Mereka berkata: jika
seorang perempuan memasukkan mani yang dikira mani suaminya, kemudian mani
tersebut bukan milik suaminya, maka wajib baginya iddah seperti orang yang
disetubuhi secara syubhat.
Ketentuan-ketentuan
ini bisa didapati dalam kitab-kitab mazhab Syafi’iyah. Pengarang kitab Al-Bahr
dari mazhab Hanafiyah mengatakan: Saya tidak mendapati pendapat itu dari
sahabat-sahabat kita. Tetapi kaidah-kaidah umum (dalam mazhab Hanafi) tidak
menolak hal tersebut. Karena wajibnya iddah bertujuan untuk mengetahui
bersihnya rahim. Dan ini tegas dalam pendapat mereka bahwa sampainnya air mani
tidak dengan cara biasa terkadang menyebabkan rahim terisi janin. Ini termasuk
prinsip yang diketahui umum tentang
kemungkinan terbentuknya seorang anak dari air sperma tanpa melalui hubungan
seks. Hubungan badan hanyalah sebagai cara yang lumrah dan tidak menjadi
satu-satunya jalan terbentuknya anak dari air sperma.
Kehormatan manusia mengingkari
inseminasi buatan.
Layak
disampaikan kepada para ahli filsafat ini, yang menyamakan antara inseminasi
pada manusia dengan inseminasi pada hewan dan tumbuhan, bahwa manusia dimana
mereka sebagai salah satu anggotanya memiliki komunitas bangsa dan suku, yang
terdiri dari pribadi yang mempunyai satu sirsilah keturunan. Bahwa manusia
tidak sama dengan jenis hewan dan tumbuhan yang hidupnya terpisah-pisah tanpa
suatu ikatan dan tidak butuh kepada ikatan tersebut. Ini merupakan
karakteristik hewan dan tumbuhan. Manusia mempunyai karakteristik lain.
Ketentuan syariah tentang
inseminasi
Dari
sini kita dapat menetapkan, sehubungan dengan hukum syariah terhadap inseminasi
buatan terhadap manusia, bahwa jika dilakukan dengan sperma laki-laki kepada
istrinya, maka itu merupakan tindakan yang masih dalam koridor undang-undang
dan syariah yang berlaku bagi masyarakat yang terhormat. Ini adalah tindakan
legal yang tidak dilarang dan tidak ada dosa melakukannya. Ini juga dapat
menjadi jalan untuk memperoleh anak secara syar’i, yang jelas identitas
bapaknya. Dengan tindakan ini, kehidupan kedua orangtuanya terus berlangsung
dan bertambah kebahagiaan mereka secara individu maupun social, ini juga akan
memberikan ketenangan kepada kehidupan suami istri dan kelanggengan cinta
mereka.
Inseminasi dalam zina
Dalam
kondisi ini, inseminasi dalam pandangan syariah islam yang menjunjung tinggi
kemuliaan manusia, merupakan kejahatan dan dosa besar. Ia serupa dengan zina
dalam satu sisi; substansi keduanya sama, hasilnyapun sama. Inseminasi ini
adalah meletakkan sperma seorang laki-laki asing (kedalam rahim/telur
perempuan) dengan tujuan memperolehketurunan, tanpa ada diantara laki-laki dan
perempuan tersebut dalam suatu ikatan pernikahan yang sah dan menurut
undang-undang dan agama. Seandainya tidak ada kelemahan dari sisi perbuatan
tersebut, pastilah hukum inseminasi ini sama dengan hukum zina, yakni had,
sebagaimana dalam Al-Qur’an.
Inseminasi
ini lebih buruk dari al-tabanni
Dengan
hukum atas inseminasi dengan sperma selain suami sah seperti diatas, maka jelas
ini lebih buruk dari al-tabanni yang maknanya secara populer adalah seseorang
menisbatkan keturunannya kepada seorang anak yang dia ketahui bahwa itu anak
orang lain. Inseminasi inilebih buruk dari anak angkat ini. Karena anak dari
al-tabanni sudah di ketahui bahwa itu anak orang lain, bukan berasal dari
sperma orang lain dalam suatu akan nikah. Dia adalah anak yang lahir secara sah
dari bapaknya yang kemudian diambil dan dimasukkan orang lain ke dalam silsilah
keluarganya. Orang tersebut mengetahui persis bahwa itu bukan keturunan
nashabnya namun menyembunyikan dari anak tersebut. Dia hanya tidak ingin anak
tersebut merasa bahwa dia anak dari orang lain, maka dimasukkanlah dia sebagai
anggota keluarganya dan dijadikanya salah satu dari anak-anaknya. Ini mempunya
aturan hukuk tersendiri.
Adapun
anak inseminasi, dia menggabungkan antara hasil al-tabanni tersebut- yakni
memasukan unsur orang lain,dengan kehinaan lainnya, yaitu serupa dengan zina
yang ditolak oleh syari’at dan undang-undang, termaksud oleh kemanusiaan yang
mulia. Tindakan inseminasi ini menjatuhkan derajat kemanusiaan kepada derajat
hewan yang tidak mempunyai perasaan sebagai anggota masyarakat yang mulia.
Meski mereka yang pro inseminasi ini menunjukan bahwa itu jalan keluar dari
pertanyaan kemandulan. Tindakan tersebut memunculkan hasil ganda yang
menggabungkan dua kehinaan; memasukkann orang lain ke dalam nasab, dan aib
berketerusan. Semoga Allah memelihara keturunan kaum muslimin dan derajat
mereka nyang mulia.
Abdu Malim Mahmud menjawab
pertanyaan ini:
Pembuahan
seorang anak dalam tabung tidak membolehkan. Tidak dikehendaki oleh suatu
maslahab (kebaikan bersama) dan bukan pula suatu tindakan darurat. Tindakan ini
adalah keputusan yang keliru karena akan memutuskan ikatan kemanusiaan,
sebagaimana disebut Allah dalam firman-Nya:”Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal.”(QS Al-Hujurat: 13)
Benda
yang tumbuh dalam tabung ini jika keluar dalam kehidupan kalau dia keluar dia
tidak terikat secara manusiawi kepada seorang bapak, tidak juga kepada seorang
ibu. Maka ia akan kosong dari unsure-unsur yang mengisi kemanusiaan dalam rasa
kasih sayang, perhatian. Anak seperti menyimpan potensi membahayakan masyarakat
cukup besar. Inseminasi di sini adalah merubah kondisi/tempat pertumbuhan anak
dan memindahkannya dari rahim ibu ke “rahim”tabung. Tabung tersebut adalah
tiruan dari proses yang biasa terjadi dalam perkembangbiakan, serta
mengkondisikan suasana rahim ke dalam tabung. Tidak ada alasan apa pun untuk
membolehkan ini. Manusia sekarang mengeluh karena banyaknya keturunan dan ingin
membatasinya, maka tidak mempunyai kebutuhan secara mutlak untuk menambahnya
dengan jalan yang fasid, yang membahayakan kemanusiaan lebih besar dari
manfaatnya.
Prof. Hamani, memberi jawaban:
Pertama.
Perkataan penanya (tentang kemandulan perempuan) tidak benar karena terkadang
seorang perempuan mampu hamil, hanya saja terdapat penyakit di rahimnya
sehingga dia boleh jadi tidak dapat hamil dengan cara jimak sedangkan suaminya
sehat maka dokter terpaksa mempertemukan spermanya dengan sel telur. Adapun
jika dia mandul maka sel sperma tidak dapat membuahi, atau di dalam rahimnya
ada penyakit yang menyebabkannya tidak bisa hamil.
Kedua.
Jika sperma tersebut adalah sperma suaminya dan sel telur dari dia (istrinya)
dan janin terbentuk darinya, maka anak tersebut sah menurut ijma ulama. Dia
ikut dalam keturunan bapaknya, sedangkan ibunya tidak dicela atas tindakanya
itu. Apabila sperma itu tidak berasal dari suami perempuan itu, maka anak
tersebut sah sebagai anak dari suaminya juga. Karena perempuan itu selama
bersuami maka anak yang lahir darinya adalah anak dari pasangan itu kecuali
jika suami menghilangkannya dengan li’an, dan anak tersebut ikut kepada nasab
ibunya. Hal ini haram secara mu’akad
hukumnya bagi perempuan tersebut untuk melakukan tindakan ini. Haram pula bagi suami itu untuk mendiamkanya atau
meridhainya. Karena itu adalah seperti al-diatsyah
(suami yang merelakan istrinya hamil dari bibir orang lain). Suami seperti
ini tidak akan mencium harumnya surge. Anak ini dianggap sah berdasarkan sabda
Rasulullah Saw: ”Anak itu karena tempat
tidur dan bagi pezina adalah pengakuan.” Ini dalam kisah ‘Abn bin Zam’ah.
Bersamaaan dengan itu, beliau menyuruh Ummul Mukminin Saudah untuk berhijab
darinya meski diputuskan bahwa itu adalah saudaranya.
Ketiga.
Perkataan anda bahwa tindakan itu termaksud pencapaian ilmu modern, tidak
benar. Karena tindakan ini sudah disepakati oleh ulama kaum muslimin tentang
kebolehan yakni kemungkinan terjadinya. Mereka telah mendahului hal itu bahwa
seorang perempuan dapat hamil tanpa melalui hubungan badan dan tanpa memasukan
(alat kelamin). Abu Al-Walid Al-Baji berkata: “Orang yang bersetubuh bukan pada
farj, kemudian air (sperma)nya itu
masuk ke vagina perempuan, tidak akan menjadi anak.” Kalaupun terjadi anak dari
tindakkan itu, maka tidak wajib (hukuman) atas yang melalui farj, dan ini juga tidak
menimbulkanhukuman had. Karena yang
mewajibkan had adalah terbenamnya hasyafah (kepala penis) dalam farj (vagina) wanita. Ini adalah nash
yang menetapkan kemungkinan hamil tanpa bersetubuhan.
Keempat:
Tidak boleh seorang perempuan yang
beriman kepada Allah dan Hari akhirat utnuk melakukan tindakan melalui tabung
padahal dia mengetahui bahwa sperma itu bukan dari suaminya. Jika demikian, maka
dia telah melakukan kebohongan besar. Mengikutkan anak kepada bukan bapaknya,
dan membawakannya kepada kehinaan dalam hidup. Karena dia akan hidup tanpa
bapak yang jelas. Tidak dibenarkan juga bagi suami perempuan ini untuk
mengakuinya dan rela dengan anak yang bukan dari spermanya yang dikandung oleh
istrinya. Anak itu akan hidup diantara mereka tanpa bapak yang jelas.
Kelima:
Jika yang bertindak dalam inseminasi itu adalah suaminya sendiri, dan dari
spermanya terjadi pembuahan, maka tidak ada masalah dan boleh secara mutlak.
Adapun jika yang melakukannya adalah dokter yang bukan suaminya, maka tindakan
itu haram karena dia menyingkap aurat perempuan itu. Allah berfirman: “ Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan
kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya.” (QS Al-An’am: 199).”Tetapi
barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula)melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”(QS
Al-Baqarah: 173).